Syahdan, ketika hari kiamat datang, Allah menjumpai hamba-Nya untuk menghukumi mereka. Maka yang pertama kali di panggilnya adalah orang-orang yang mengumpulkan Al-Quran, orang-orang yang berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang banyak hartanya. Lalu Allah berfirman kepada para pembaca dan penghafal Al-Quran,
"Bukankah Aku telah mengajari kalian apa yang telah Aku turunkan melalui Rasul-Ku."
Para pembaca dan penghafal Al-Quran menjawab, "Ya, wahai Rabb kami."
Allah berfirman, "Lalu apa yang kalian perbuat dengan apa yang telah kalian ketahui itu."
Para pembaca dan penghafal Al-Quran menjawab, "Kami telah melaksanakannya siang dan malam."
Lalu Allah berfirman kepadanya, "Kalian telah berbohong." Lebih lanjut Allah berfirman, "Memang kalian telah melakukannya, namun semua itu karena kalian ingin disebut Si Fulan adalah seorang qari dan hal itu telah kalian dapatkan dari orang-orang sewaktu kalian di dunia."
Kemudian didatangkanlah orang-orang yang memiliki harta. Kepada mereka Allah berfirman, "Bukankah Aku telah memberikan kelapangan kepada kalian hingga Aku tidak membiarkan kalian butuh kepada siapapun."
Mereka menjawab, "Ya, wahai Rabb kami."
Allah berfirman, "Lalu apakah yang telah kalian lakukan dari apa yang telah Aku berikan kepada kalian."
Mereka menjawab, "Kami telah menjalin hubungan keluarga dan bersedekah."
Lalu Allah berfirman kepada mereka, "Kalian telah berbohong." Dan malaikat pun menimpalinya, "Kalian telah berbohong." Lalu Allah melanjutkan, "Semua ini kalian lakukan lantaran kalian ingin disebut Si Fulan adalah orang dermawan dan hal itu telah dikatakan orang-orang kepada kalian."
Selanjutnya didatangkanlah orang-orang yang terbunuh di jalan Allah. Allah berfirman kepadanya, "Dalam hal apa kalian terbunuh."
"Kami telah diperintah jihad di jalan-Mu. Lalu kami pun memenuhi panggilan-Mu itu. Kami berperang di jalan-Mu hingga kami menemui ajal kami," jawab mereka.
Allah berfirman kepada mereka, "Kalian telah berbohong."
"Ya, kalian telah berbohong," Malaikat pun ikut menyahut.
Allah kembali berfirman kepada mereka, "Kalian melakukannya karena kalian ingin disebut Si Fulan adalah seorang pemberani, dan hal itu telah dikatakan orang-orang kepada kalian."
Di akhir cerita. Rasulullah menepuk lutut sahabat Abia Hurairah sambil bersabda, "Wahai Abü Hurairah, tiga golongan inilah makhluk Allah yang pertama kali dibakar di neraka."
Dan sungguh Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada mereka dan apa yang mereka nyatakan (Alqashash : 69)
Teman-teman yang baik, pernahkan kita memikirkan apa maksud dari yang kita perbuat. Sungguh Allah maha tahu niat dari semua perbuatan yang kita buat apakah itu yang baik, maupun niat yang buruk, tak ada satupun yang luput dari pengetahuannya. Ternyata perbuatan yang baik harus dilandasi dengan niat yang baik dan bersih dari segala niat lain, kecuali perbuatan baik itu hanya untuk Allah SWT , siang malam melakuakan kebaikan apapun bisa jadi tidak diterima amal tersebut karena ada maksud lain, selain Allah SWT dalam surat Ali Imran : 145 Allah SWT berfirman "Dan siapa yang ingin balasan di dunia, Kami berikan daripadanya, Dan siapa yang ingin balasan di akhirat, Kami berikan juga daripadanya, Ada juga sebuah hadits populer yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari : "Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang diniatkannya". sebuah kisah inspiratif seperti ini :
”Ada seorang ustadz yang menemukan bahwa sebuah pohon disembah oleh warga kampung, singkat cerita sang ustadz berusaha untuk menebang pohon dengan niat untuk menghilangkan kemusyrikan di kampung tersebut, kemudian muncul setan dari dalam pohon tersebut, maka terjadilah duel antara setan tersebut dan sang ustadz, setelah terjadi duel yang sengit maka sang ustadz memenangkan duel tersebut maka hilanglah kemusyrikan dikampung tersebut, suatu saat dikampung yang lainnya terjadi juga penyembahan terhadap sebuah pohon oleh masyarakat desa tersebut, seorang saudagar menjanjikan imbalan harta kepada orang yang bisa menebang pohon tersebut, maka dipanggillah sang ustad untuk menebang pohon tersebut dengan dijanjikan imbalan harta, singkat cerita dari pohon tersebut keluarlah setan yang kemudian berduel dengan ustadz tersebut, singkat cerita sang ustad kalah berduel dengan setan tersebut”.
Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari kisah diatas, dalam kisah yang pertama sang ustadz menang dalam duel tersebut karena semua itu dia lakukan hanya untuk Allah SWT, tidak ada yang diharapkan oleh sang ustadz kecuali mengharap ridha Allah, sedangkan pada duel di pohon kedua sang ustadz melakukan duel tersebut bukan karena Allah SWT, tetapi karena harta yang dijanjikan oleh saudagar dikampung tersebut, sehingga sang ustadz kalah.
Dari kisah tersebut kita dapat mengambil pelajaran betapa niat itu sangat tinggi nilainya dan sangat menentukan berhasil atau tidaknya perbuatan kita. Allah tahu isi hati kita, seandaianya kita belum bisa ikhlas mudah2 Allah menggerakkan kita berbuat baik dan mudah2an Allah mengaruniakan keikhlasan dalam diri kita dalam perbuatan itu.
Wahai yang maha tahu segala isi hati, ampuni jikalau apa yang kami perbuat belum murni hanya untuk MU, ampuni seandainya hati ini masih mengharapakan sesuatu yang lain selain dari rahmat dan kasih sayang MU, tunjukkanlah kami jalan-jalanMU dan cukupkan segala perilaku dan perbuatan kami lurus hanya berharap dan untuk MU
Untuk menambah khasanah tentang keikhlasan ada baiknya kita membaca kitab riyadhus shalihin karangan Imam nawawi, Bab ikhlas adalah bab pertama dalam buku karangan Imam Nawawi Riyadhus Shalihin, saya lampiran bab ikhlas hadits pertama dan kedua sebagai berikut :
Untuk menambah khasanah tentang keikhlasan ada baiknya kita membaca kitab riyadhus shalihin karangan Imam nawawi, Bab ikhlas adalah bab pertama dalam buku karangan Imam Nawawi Riyadhus Shalihin, saya lampiran bab ikhlas hadits pertama dan kedua sebagai berikut :
Riyadhus Shalihin
-Imam An-Nawawi-
Bab 1: Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al- Qurasyi al-'Adawi رضي الله عنه berkata: Saya mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda : [3] "Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu." (Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)
Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, - lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masing- masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.
Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, - lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masing- masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.
[3] Saidina Umar bin Khaththab r.a. itu adalah seorang khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan sebutan Amirul mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau adalah khalifah kedua sepeninggal Rasulullah صلی الله عليه وسلم Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh dan diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu 'anhuma, juga oleh para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa, sebab memang terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam menegakkan keadilan di antara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam meneterapkan hukuman kepada siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.
Nomor: 1
Sumber: riyadhus-shalihin
Sumber: riyadhus-shalihin
Penjelasan:
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah صلی الله عليه وسلم menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau صلی الله عليه وسلم mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan Hanbali mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.
Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau صلی الله عليه وسلم yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan Hanbali mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.
Riyadhus Shalihin
-Imam An-Nawawi-
Bab 1: Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
Dari Ummul mu'minin yaitu ibunya - sebenarnya adalah bibinya - Abdullah yakni Aisyah رضي الله عنها, berkata: Saya mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Ada sepasukan tentera yang hendak memerangi - menghancurkan - Ka'bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan-dalam tanah tadi -dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya."
Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasaran - maksudnya para pedagang - serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi - yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"
Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats - dibangkitkan dari masing- masing kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa atau tidaknya.
Disepakati atas Hadis ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasaran - maksudnya para pedagang - serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi - yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"
Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats - dibangkitkan dari masing- masing kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa atau tidaknya.
Disepakati atas Hadis ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Nomor: 2
Sumber: riyadhus-shalihin
Sumber: riyadhus-shalihin
Penjelasan:
Sayidah Aisyah diberi gelar Ummul mu'minin, yakni ibunya sekalian orang mu'min sebab beliau adalah isteri Rasulullah صلی الله عليه وسلم, jadi sudah sepatutnya. Beliau juga diberi nama ibu Abdullah oleh Nabi صلی الله عليه وسلم, sebenarnya Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi putera saudarinya yang bernama Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu adalah kemanakannya. Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang puterapun.
Dari uraian yang tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih itupun pasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini mengingatkan kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.
Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.
Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah رضي الله عنها belaka, tetapi juga diberikan kepada para isteri Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang lain-lain.
Dari uraian yang tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih itupun pasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini mengingatkan kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.
Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.
Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah رضي الله عنها belaka, tetapi juga diberikan kepada para isteri Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar